Dari
sinilah semua bermula. Orang tua kami yang mengawalinya. Suatu hari, di sekitar
pertengahan tahun ini (2012) dengan tiba-tiba dalam sebuah percakapan ringan di
telepon genggam ibu menyampaikan ada berita dari teman dekat ibu bahwa pimpinan
di tempat ibu bekerja dengan keseriusan mengajak menyambung persaudaraan (read:
besanan). Spontan ibu menanyakan “Piye nduk...?
Siap opo ora...?” (read: Gimana nak...? Siap ga...?). Saya pun menjawb
dengan ringan “Dijalanin aja dulu, bu...
toh kita belum tahu gimana2nya kaan...?”. Ibu melanjutkan, “Masnya sementara tinggal di Kalimantan
karena kerjanya di sana, namanya Mas Eko, anak pertama dari Pak Pri. Ibu juga
sudah sampaikan rencana hidupmu ke depan dan dari pihak keluarga masnya
menerima, katanya yang penting kenalan dulu. Ini no telepon masnya dan nanti
ibu kasih nomer teleponmu ke bapaknya ya...?”.Singkat saya menjawab, “Nggih buk, pun monggo kerso panjenengan
mawon.” (read: Iya bu, udah gimana baiknya terserah ibu aja).
Waktu
berjalan, hari berganti hingga beberapa minggu, saya menerima SMS dari nomer
asing yang mengaku namanya Mas Eko dengan beberapa pertanyaan -seingat saya-
yang menanyakan apakah benar saya yang memiliki nama Windi Wardani, di mana
saya bekerja dan di mana saya tinggal. Saya pun menjawab seperlunya sebagaimana
yang ditanyakan oleh yang mengirim pesan.
Hingga
beberapa minggu bahkan berganti bulan komunikasi pun hilang. Sesekali saat
telepon ibu menanyakan apakah ada kabar dari mas eko, saya pun menyampaikan ke
ibu bahwa tidak ada lagi kabar. Komunikasi antara kamipun terputus sampai
beberapa waktu yang cukup lama. Dan tidak ada lagi pembahasan antara saya dan
ibu mengenai perihal ini lahi.
Beberapa
hari menjelang libur lebaran kembali saya mendapatkan SMS dari nomer asing. Karena
memang saya tidak menyimpan nomornya, dengan lamat-lamat saya coba mengingat
deretan nomor yang masuk dan munculah sebuah nama dari ingatan saya bahwa ini
adalah SMS dari Mas Eko yang isinya, “Lebaran
pulang ga...?”. Keesokan harinya saya baru membalasnya dengan kalimat
seperlunya, “iya InsyaAllah pulang”.
Tanggal
27 Ramadhan, seperti para perantau yang lain, sayapun pulang ke kampung
halaman. Sesampainya di rumah, di sela-sela obrolan sambil bercanda, ibu menanyakan
kabar masnya dan sekali lagi meyakinkan saya untuk benar-benar mempertimbangkan
secara matang tawaran perjodohan ini, ibu menyampaikan bahwa bapak dan ibu
sudah memiliki kecenderungan dengan keluarga besarnya, tinggal bagaimana saya
dan masnya esok atau lusa akan diajak silaturohmi untuk bertemu dan saling
mengenal. Dengan penuh kegalauan saya menjawab “InsyaAllah”. Bagaimana saya bisa memikirkan tawaran ini, menyeriusi
bahkan memantapkan hati lhawong ketemu dan melihat orangnya saja belum pernah.
Galau, dan bingung...trus piye iki....?.
Hehehee....
....bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar